Jumat, 20 Mei 2016

5 Tempat Wisata Terbaik Yang Harus Dikunjungi Di Provinsi Sumatera Utara.

             Hi Travellers.......
 Kali ini saya akan berbagi informasi mengenai destinasi yang sangat cocok dan sangat bagus untuk dikunjungi di kota medan.Mungkin banyak dari kita yang sudah sangat familiar atau bahkan juga sudah sangat tidak asing lagi pada beberapa tempat indah yang satu ini.Tapi,belum sampai situ aja travellers,Di kota medan ternyata ada beberapa tempat juga yang belum tereksplor dan banyak yang tidak mengetahui tentang 5 tempat ini,bahkan warga kota medan sendiri juga belum terlalu mengenalnya.Oleh karena itu  kami akan memberikan informasi mengenai tempat tempat eksotis tersebut kepada para traveller sekalian.

 Untuk informasinya bisa langsung dilihat dibawah ini......check it out.

1Di dalam Hutan Desa Tangkahan

Sering disebut sebagai surga tersembunyi Sumatera, hutan lebat dan topografi Tangkahan yang mengagumkan, membuat desa ini menjadi tempat wisata yang luar biasa.  Desa ini terletak di Taman Nasional Gunung Leuser yang lebat, di persimpangan dua sungai, yaitu sungai Batang Serangan dan Buluh. Taman ini adalah salah satu wilayah yang jumlah primatanya paling beragam di dunia, yang juga rumah bagi beberapa spesies bumi paling terancam punah.

Di masa lalu taman ini sering menjadi tempat pembalakan dan pemburuan liar, saat ini hutan ini telah diubah menjadi cagar alam. Orang-orang setempat telah sadar dengan fungsi dan kekayaan taman ini sehingga mereka berusaha untuk melestarikan harta mereka yang berharga ini. Datang dan temui gajah bersama-sama dengan penjaga mereka yang sedang berpatroli untuk menjaga hutan dari penebangan dan pemburuan liar.

Di sini, tentunya Anda akan melihat dan menikmati sungai yang jernih yang melintasi hutan Sumatera, menciptakan suasana yang benar-benar mistis. Datang dan temukan surga di hutan tersembunyi ini dan Anda tidak akan menyesal.


 2.Teluk Dalam


Pemandangan alam nan indah, tradisi dan sejarah yang layak  ditelusuri ada semua di kota ini. Ya, di Teluk Dalam, perpaduan tersebut bergabung menjadi satu dalam sebuah harmoni hidup di kota yang terkenal dengan tradisi lompat batu-nya. Kota Teluk Dalam menjadi pintu masuk bagi peselancar dunia datang ber-ramai-ramai pada musim tertentu untuk menjajal indah dan ganasnya gulungan ombak di perairan kota ini.

Teluk Dalam yang merupakan surga bagi peselancar adalah Ibu Kota Kabupaten Nias Selatan, kota yang juga berfungsi sebagai  kecamatan di Nias Selatan, Sumatera Utara. Apabila Anda melihat di peta maka sangat mudah untuk menemukan posisi kota ini karena letaknya yang berada persisi di ujung selatan Pulau Nias, berbatasan dengan Kecamatan Amandraya dan Kecamatan Lahusa.

Menurut sejarahnya nama Teluk Dalam diambil dari nama sebuah teluk yang berada di bagian selatan Pulau Nias. Berikutnya nama tersebut dijadikan nama kota. Dalam tata bahasa Nias Selatan nama Teluk Dalam juga dikenal dengan nama Luahaziwara-wara yang berarti tempat pertemuan seluruh penduduk Kecamatan Teluk Dalam atau dalam tata masyarakat Jawa dikenal dengan pendopo.

Penduduk Teluk Dalam mayoritas adalah Kristiani dan sisanya adalah Muslim. Mayoritas mata pencaharian mereka adalah Petani dengan padi, kelapa, karet, kokoa dan buah-buahan sebagai tanaman utama. Lainnya berkerja sebagai nelayan penangkap ikan, udang dan kepiting adalah tangkapan utama setiap harinya dan sisanya adalah pedagang.

Nenek moyang masyarakat Teluk Dalam dipercaya berasal dari Gomo, sebuah daerah yang berada dibagian tengah Pulau Nias. Sistem pembagian negeri atau yang dikenal dengan Ori terbilang unik. Pembagian Ori di kota ini dibedakan berdasarkan kedekatan wilayah, asal usul keturunan, persamaan marga, kesamaan logat dan pembuatan kampung baru yang berasal dari kampung asal. Pembagian Ori ini sudah ada sejak berdirinya peradaban di Pulau Nias. Sampai saat ini terdapat  empat Ori di Teluk Dalam antara lain: Ori Maenamolo, Ori Ono Lalu, Ori Mazino dan Ori Toene asi.

Jika Anda sangat tertarik dengan kehidupan masyarakat tradisional Nias maka kota ini cocok bagi Anda. Desa-desa di Teluk Dalam masih lekat dan kental dengan tradisi dan arsitektur Nias yang unik. Sebut saja Desa Bawomataluo yang berjarak sekitar 15 km dari Teluk Dalam. Desa yang berada di atas bukit dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Rumah-rumah di desa ini masih memiliki arsitektur rumah adat Nias yang dikenal dengan Omo Nifolasara sudah berusia ratusan tahun. Uniknya rumah-rumah di desa ini dibangun saling berhadapan sehingga menyisakan halaman luas yang digunakan sebagai tempat pertunjukan seni tradisi Teluk Dalam seperti Lompat Batu (Hombo Batu) dan Tari Perang. Desa tradisional lain yang patut untuk dikunjungi adalah Desa Hilinawalo Fau, Onohondro dan Hilinawalo Mazino

Di Teluk Dalam juga terdapat peninggalan Megalitik yang berada di Desa Orahili, Kecamatan Gomo. Batu batu berukuran besar tersebut berada di perbukitan dekat dengan Sungai Gomo. Menurut sejarah perbukitan dan batu-batu megalitik tersebut merupakan sebuah perkampungan yang berasal dari Zaman Batu Muda (Neolithicum) sekitar 1000 – 1500 M.

Teluk Dalam juga dikenal dengan pantai-pantainya yang indah. Ombak di pantai-pantai tersebut sudah banyak dikenal oleh peselancar dunia, sebut saja Pantai Lagundri dan Pantai Sorake. Ombak di kedua pantai ini merupakan primadona peselancar dunia. Gulungan ombak kedua pantai ini memiliki ketinggiaan sempurna.


3. Pulau Mursala
Inilah Pulau Mursala atau sering juga disebut sebagai Mansalaar Island. Pulau dengan luas 8000 ha tersebut dihuni oleh puluhan kepala keluarga. Selain menikmati panorama alam, kehidupan penduduk setempat juga menarik untuk diselami. Pesona Pulau Mursala pernah diangkat ke film layar lebar “King Kong” tahun 1933 dan film nasional berjudul "Mursala" pada 2013.

Keunikan air terjun di sini adalah air dari ketinggian 35 m itu langsung jatuh dari tebing pulau ke permukaan laut. Air terjun di Pulau Mursala memang berada pada bagian pulau yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Air mengalir dari sungai hanya sepanjang 700 meter (terpendek di Indonesia) kemudian mengaliri batuan granit kemerahan di tebing pulau. Berikutnya, air tercurah jatuh dalam volume yang besar ke permukaan laut dengan bunyi keras, apalagi saat musim penghujan.

Secara administratif, Pulau Mursala bernaung di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, tepatnya di sebelah Barat Daya Kota Sibolga. Jika menelaah keberadaannya di dalam peta, Pulau Mursala terletak di antara Kota Sibolga dan Pulau Nias.

Nama “Mursala” tidak lahir begitu saja, ada serangkaian cerita yang bergulir di belakangnya. Pada abad VII, banyak bangsa Arab datang ke Pantai Barus untuk singgah dan melakukan pertukaran komoditi. Sebelum memasuki Barus, mereka kerap melakukan ibadah di ujung sebuah pulau besar. Kebiasaan ini berlangsung lama, sehingga nelayan setempat menamai pulau tersebut dengan rangkaian dari kata Mur dan shalat, yaitu “Mursala”. Mur merupakan sebutan lain untuk orang Arab.

Sekeliling pulau ini dihiasi oleh belasan pulau kecil yang mayoritas tak berpenduduk, diantaranya adalah: Pulau Pulau Puti, Pulau Silabu Na Godang, Pulau Kalimantung, Pulau Silabu Na Menek, dan Pulau Jambe. Hadirnya pulau-pulau kecil itu mendukung Pulau Mursala menjadi destinasi yang apik. Selain kaya ikan hias dan terumbu karang, Anda juga dapat mengunjungi laguna yang menyatu antara Pulau Silabu Na Godang dan Pulau Kalimantung.

Disamping itu, Pulau Silabu Na Menek juga akan menyita perhatian lewat tanaman bonsai yang tumbuh di atas bebatuan curam. Begitu banyak yang bisa dinikmati di Pulau Mursala, namun primadona yang harus Anda jumpai adalah Air Terjun Mursala tentunya.


 4.Candi Bahal
Inilah jejak agama Budha di Provinsi Sumatera Utara, berlokasi di Kabupaten Padang Lawas, sekitar 400 km dari Kota Medan. Candi ini disebut juga Candi Portibi dan diperkirakan sezaman dengan Candi Muara Takus di Riau yakni sekitar abad XII.  Lokasinya di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara atau sekitar 3 jam perjalanan dari Padang Sidempuan.

Candi ini didirikan oleh Raja Rajendra Cola yang menjadi Raja Tamil Hindu Siwa, di India Selatan dan diperkirakan sudah berusia ribuan tahun. Kerajaan Portibi merupakan kerajaan yang unik yaitu dari segi namanya yaitu Portibi. Portibi dalam bahasa Batak artinya dunia atau bumi. Para ahli lainnya menyebut candi ini berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Pannai sebagai daerah yang ditaklukkan oleh Sriwijaya.

Para peneliti mengungkapkan bahwa candi di desa Bahal ini adalah tiga di antara 26 runtuhan candi yang tersebar seluas 1.500 km² di kawasan Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Karena lokasinya di tengah persawahan yang sangat luas, penduduk setempat sering menyebut kompleks Candi Bahal dengan nama Candi Padang Lawas atau 'candi di padang Iuas'. Kompleks Candi Bahal terdiri dari tiga buah candi yang masing-masing terpisah sekitar 500 meter. Beberapa kilometer dari candi ini ada pula kompleks Candi Pulo.

Candi Bahal disebut biaro oleh masyarakatnya adalah kompleks candi yang terluas di provinsi Sumatera Utara, karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I, Bahal II dan Bahal III. Seluruh bangunan di ketiga kompleks candi dibuat dari bata merah, kecuali arca-arcanya yang terbuat dari batu keras. Masing-masing kompleks candi dikelilingi oleh pagar setinggi dan setebal sekitar 1 m  yang juga terbuat dari susunan bata merah. Di sisi timur terdapat gerbang yang menjorok keluar dan di kanan-kirinya diapit oleh dinding setinggi sekitar 60 cm. Candi Bahal ini berdiri di tepian sungai Batang Pane. Dari berbagai teori yang berkembang, kemungkinan sungai Batang Pane pernah menjadi lalu lintas perdagangan. Diperkirakan dulunya hutan di hulu sungai tersebut mampu menyediakan persediaan air yang cukup. Akan tetapi, sekarang debitnya kecil, dangkal, dan mustahil jadi sarana transportasi.

Bangunan utama Candi Bahal I merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bangunan utama Candi Bahal II dan III. Bangunan utama ini terdiri atas susunan  tatakan, kaki, tubuh dan atap candi. Tatakan candi berdenah dasar bujur sangkar seluas sekitar 7 m² dengan tinggi  sekitar 180 cm. Di setiap kompleks candi terdapat  bangunan utama terletak di tengah halaman dengan pintu masuk tepat menghadap ke gerbang.

Beberapa ahli yang sudah melakukan riset penting di Candi Bahal antara lain Franz Junghun (1846), Von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom (1923), dan F.M. Schinitger yang dikenal berjasa mengungkap sejarah kepurbakalaan di Sumatera.

Arkeolog Jerman F.M. Schinitger tahun 1935 meneliti candi ini berdasarkan prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dan dibuat oleh  Raja Coladewa dari India Selatan tahun 1030. Raja ini menaklukkan Pannai merujuk catatan I-tsing. Schinitger menyimpulkan candi ini berkaitan dengan agama Budha aliran Wajrayana yang berbeda dengan ajaran Budha sekarang. Hal ini yaitu berciri bengis melihat pada arca berwajah raksasa dengan raut muka  menyeramkan. Begitu pula relief pada dinding candi yang menggambarkan raksasa yang sedang menari dengan tarian tandawa. Ciri-cirinya beringas, bengis, dan cenderung dekat pada upacara-upacara yang sadis. Hal ini diperkuat pula dengan informasi dari beberapa tulisan pada lempengan emas maupun batu yang ditemukan.

Di runtuhan Candi Bahal II ditemukan arca Heruka, satu-satunya jenis arca sejenis di Indonesia. Penggambarannya sangat sadis dengan setumpuk tengkorak dan raksasa yang sedang menari-nari di atas mayat. Bambang Budi Utomo, seorang peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menuliskan di Harian Kompas, Jumat, 23 September 2005,  “Tangan kanan (raksasa itu) diangkat ke atas sambil memegang vajra sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk tempurung kepala manusia”.

Dalam aliran Budha Wajrayana ada upacara tantrayana yang digambarkan sebagai tindakan sadis dimana tidak lepas dari mayat dan minuman keras. Ada juga upacara bhairawa yang dilakukan di atas ksetra, lapangan tempat menimbun mayat sebelum dibakar. Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, meramalkan mantra, membakar mayat, minum darah, dan tertawa-tawa sambil mengeluarkan dengus seperti kerbau. Tujuannya agar bisa kaya, panjang umur, perkasa, kebal, dapat menghilang, dan menyembuhkan orang sakit. Agar lebih sakti, mereka berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa. Ini dipercaya orang Wajrayana di Padang Lawas untuk membuat perasaan tenang atau mendapat mukjizat dilahirkan kembali atas kekuasaan Dewa yang dipuja (konsep reinkarnasi).

Sekarang rumput-rumput memenuhi kawasan candi dan sayang kurang terawat candinya. Candi dikelilingi padang ilalang luas, tandus, dan sering dipakai untuk tempat merumput hewan ternak. Sebagai tanaman peneduh, biasanya tanaman balakka dipakai penggembala untuk berlindung dari sengatan matahari. Walaupun bangunannya masih baik, namun pada dinding candi yang terbuat dari batu bata merah tersebut penuh dengan coretan.

Meski merupakan kawasan wisata sejarah, tidak terlihat jejeran kios penjual makanan atau souvenir di sekitarnya. Masyarakat sekitar, mengetahui ada komplek percandian namun tiap harinya bisa dikatakan tidak ada pengunjung. Bisa dimaklumi sebab angkutan umum ke komplek candi ini relatif jarang dan memakan waktu.

Candi Bahal sendiri sudah resmi dijadikan sebagai objek wisata oleh pemerintah. Tempat ini  hanya ramai pada saat-saat tertentu seperti hari libur, Lebaran, atau Tahun Baru. Pengunjungnya adalah masyarakat desa sekitar Padang Bolak dan Barumun. Kondisi terakhir Jalan menuju candi ini berlumpur dan tidak terawat.

5. Bukit Lawang
elajahi hutan Sumatera dan rasakan petualangan outdoor ditemani orangutan selama Anda berada di desa di dalam hutan Bukit Lawang. Secara harfiah berarti "pintu ke bukit", Bukit Lawang adalah sebuah desa kecil yang terletak di selatan Taman Nasionjal Gunung Leuseur. Terletak sekitar 90 kilometer barat laut Medan, ibu kota Sumatera Utara.

Bukit Lawang adalah pintu gerbang ke dalam hutan Sumatera yang legendaris yang memiliki medan licin dan lereng curam serta berlumpur, menjelajahi hutan di sini adalah petualangan yang menkjubkan. Perjalanan melalui hutan yang rimbun akan mendebarkan dan Anda akan masuk dalam dunia baru.

Hutan ini merupakan lebat yang menarik hati, orangutan merupakan daya tarik utama di sini. Bukit Lawang adalah salah satu tempat terbaik di dunia untuk menemukan primata langka dan hampir punah. Melihat makhluk anggun berayun-ayun melalui ranting-ranting pohon. Hutan ini adalah salah satu komunitas terbesar orangutan,  lebih dari 5000 orangutan tinggal di sini.

Pusat rehabilitasi orangutan adalah tempat bagi orangutan yatim piatu yang dilatih hidup di alam bebas. Pusat ini telah beroperasi sejak tahun 1973 dan hingga kini telah menarik pengunjung dari seluruh dunia  untuk melihat sekilas makhluk menakjubkan.

Jumlah orangutan di hutan ini telah menurun akibat perburuan liar, perdagangan satwa dan lingkungan yang rusak. Pusat rehabilitasi ini membantu orangutan kembali kebiasaan alami mereka dengan menempatkan mereka melalui pelatihan yang intensif sebelum dikeluarkan ke alam liar. Ketika primata ini kembali hutan, pusat rehabilitasi terus menyediakan suplemen makanan dan pemeriksaan rutin.
please leave your comment and keep subscribe to this blog.
i hope this article will help you to know north sumatera privince much better.
semoga bermanfaat ya traveller

Tidak ada komentar:

Posting Komentar